Social Icons

Selasa, 8 Januari 2013

Kisah Uwais Al-Qarni - Terkenal Di Langit Sedangkan Di Bumi, Dia Disangka Orang Tidak Siuman

Setiap orang yang hidup di atas muka bumi adalah ciptaan Tuhan yang unik. Rahsia setiap orang ada di sisi Tuhan Yang Esa. Dia Maha Mengetahui. Tidak semua orang yang mampu memahami mengikut kehendak Tuhan. Pandangan manusia terhadap manusia yang lain mempunyai tafsiran, sangkaan dan penilaian yang berbeda.

Ada manusia yang ketika di dunia, dia disanjung, dipuji dan dipuja sedangkan di sisi tuhan rupa-rupanya dialah manusia yang dilaknat Tuhan, Sebaliknya ada pula yang dikeji, dicaci nista di dunia tetapi pada Tuhan, merekalah para kekasihNya yang pilihan.

Hakikatnya Islam mengajar untuk bersangka baik dengan sesama manusia. Walaupun seseorang itu kafir, bersangka baiklah moga-moga dia beriman satu masa nanti. Inilah sunnah Baginda Nabi saw. Ketika Baginda berlindung di balik bukit Taif setelah dibaling dengan batu oleh kaum Bani Thaqif, 

Allah telah menghantar malaikat Jibril dan malaikat penjaga bukit-bukau dan gunung-ganang. Kata Jibril: "Wahai Rasulullah, Allah telah mengutuskan kami kepadamu. Kalau kamu mahu, perintahkan malaikat ini untuk mentelangkupkan Mekah diantara dua bukit dan mereka akan musnah". Jawab Rasulullah Saw: "Wahai Jibril, jangan lakukannya. Biarlah aku bersabar terhadap kaumku. Semoga Allah akan melahirkan dari zuriat mereka orang-orang yang beriman kepada Allah".

Marilah kita telusuri kisah menarik tentang Uwais AlQarni - seorang tabi'in yang hidup sezaman dengan Baginda Rasulullah saw. tetapi tidak berkesempatan bertemu dengan Baginda saw. Walaupun begitu kecintaan Uwais AlQarni terhadap Rasulullah saw sangat memenuhi seluruh jiwa raganya. 

Hati yang cinta dan rindukan Rasulullah saw itulah yang menghubungkannya dengan Baginda saw. Tanpa pernah bertemu tetapi Baginda saw. mengenalinya dengan tepat. Penduduk langit sangat memuji dan mendoakan Uwais kerana dirinya yang sangat memuliakan kekasih Allah iaitu Nabi Muhammad saw. 

Apa yang menarik ialah persoalan Uwais AlQarni berjaya menempuh jalan kepada Tuhan tanpa bertemu berbaiah dengan Nabi saw. Inilah kaedah atau hujjah yang diguna-pakai oleh para guru sufi yang tidak mempunyai silsilah ijazah amalan wirid daripada sesiapa pun gurunya. Sebaliknya mereka mendapatkannya terus dari Baginda saw atau Nabi Khidir as. Ikutilah kisahnya yang memperlihatkan betapa ruh itu saling berhubungan terutama dengan Rasulullah saw. Bahan ini Pak Lang petik dari web SARKUP, Indonesia. Pak lang tidak edit. Biarkan ianya dalam Bahasa Indonesia. Semoga dapat memahami.


 
“Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup.

Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pembai’atan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir. 

Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil . Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia dilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya.

Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya.

Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang di sekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala. Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar  saja. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah.

Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil di sekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kepada Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.” Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa.

Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. ‘Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya.

Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa,” dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya”, yang digambarkan bahwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya.

Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais. Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orang Yaman, ia selalu berusaha mencari tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya.

Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setelah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya peroleh dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak bergaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susah atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”.

Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi. Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwais  al-Qarani sebagai berikut:

Umar : “Apa yang anda kerjakan disini ?” Uwais : “Saya bekerja sebagai penggembala” Umar : ”Siapa nama Anda?” Uwais : “Aku adalah hamba Allah”  Umar : ”Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi” Uwais : “Silahkan saja.”  Umar dan Ali : “Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.”

Uwais : “Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus, setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam, lantas siapa sebenarnya anda berdua?”  Ali : “Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua diminta oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda.” Umar: “Berilah kami nasehat wahai hamba Allah”

Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah.”  Umar : ”Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai.”

Uwais : “Terimakasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makanan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya.”

Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui kedudukan spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati  terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri).

Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu? Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tidak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah.

Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya. Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan.

Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engkau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Ruhku telah mengenal ruhmmu”, demikian jawaban Uwais, kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya.

Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali.

Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (th 39 H). Demikianlah sekelumit tentang Uwais al-Qarni, kemudian hari namanya banyak di puji oleh masyarakat.

Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya : Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah;

Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi  selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbol dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah bertemu dengan nabi.
Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat. Doa dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya. Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”. Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa “permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya.” Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman. Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang penasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa “apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita.”Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.” Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepada orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan. Demikianlah, berdoa untuk kaum muslim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekaligus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt.
Namun yang dilakukan Uwais disini adalah berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan mengingat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalam kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa “yang paling utama pada setiap orang yang beramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan.”
Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan si pemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar.
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia.
Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yang pada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw. Dilihat dari sudut pandang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu.
Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi.
Wallahu a’lam bis-shawab.




2 ulasan:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text