Social Icons

Jumaat, 18 November 2016

Tanda-Tanda Wali Allah


Pada hakikatnya, kewalian seseorang itu hanya diketahui oleh Allah Swt, dan para wali-Nya yang dikehendaki oleh Allah Swt untuk mengetahui. Dalam hal ini, ada sebuah pernyataan yang popular di kalangan ahli tasawuf yang berbunyi, “laa ya’rifu al-waliy illa al-waliy, (tidak akan tahu kepada kewalian seseorang kecuali sesama walinya)”.

Namun demikian, ada beberapa tanda-tanda lahir yang dapat dijadikan pedoman untuk menilai kedekatan seseorang kepada Allah Swt, sehingga mengantarkannya kepada pangkat waliyullah. Berdasarkan beberapa Hadis Nabi ssaw, al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani menyebutkan beberapa tanda kewalian seseorang, dalam kitabnya Hilyatul-Auliyâ’ wa Thabaqâtil-Ashfiyâ’. Di antaranya:

1. Punya Kharisma dan Dipatuhi Masyarakat

وَاعْلَمْ أَنَّ لأَوْلِيَاءِ اللهِ تَعَالَى نُعُوْتًا ظَاهِرَةً وَأَعْلاَمًا شَاهِرَةً، يَنْقَادُ لِمُوَالَاتِهِمْ الْعُقَلاَءُ وَالصَّالِحُوْنَ وَيَغْبِطُهُمْ بِمَنْزِلَتِهِمْ الشُّهَدَاءُ وَالنَّبِيُّوْنَ.

“Ketahuilah bahwa para wali Allah itu mempunyai sifat-sifat yang tampak dan tanda-tanda yang terang. Para wali Allah akan dipatuhi oleh orang-orang yang berakal dan orang-orang shaleh. Di akhirat nanti, derajat mereka akan dikagumi oleh para syuhada’ dan para nabi.”

Di antara sifat dan tanda-tanda wali Allah adalah mempunyai kharisma dan dipatuhi masyarakat. Ia akan menjadi rujukan orang-orang baik dan orang-orang shaleh. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ لأُنَاسًا مَاهُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَداَءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَقَالَ رَجُلٌ: مَنْ هُمْ وَمَا أَعْمَالُهُمْ، لَعَلَّنَا نُحِبُّهُمْ؟ قَالَ: قَوْمٌ يَتَحَابُّوْنَ بِرَوْحِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا بَيْنَهُمْ، وَاللهِ إِنَّ وُجُوْهَهُمْ لَنُوْرٌ وَإِنَّهُمْ لَعَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ لاَ يَخَافُوْنَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلاَ يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزَنَ النَّاسُ. ثُمَّ قَرَأَ: أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ.

“Dari Umar bin al-Khaththab RA, berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada manusia yang bukan nabi dan bukan syuhada’. Derajat mereka menjadi perhatian para nabi dan syuhada’. Seorang laki-laki bertanya: “Siapa gerangan mereka itu dan apa pula amalnya? Barangkali kami bisa mencintai mereka.” Rasulullah saw menjawab: “Mereka adalah satu kaum yang saling mencintai karena rahmat Allah Swt, tanpa ada hubungan darah di antara mereka, dan bukan karena harta benda yang saling diberikan di antara mereka. Demi Allah, wajah mereka bagaikan cahaya. Mereka akan berada di atas mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika manusia ketakutan dan tidak merasa sedih ketika manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah saw membaca (QS. Yunus [10]: 62): “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah mereka tidak merasa takut dan tidak pula berduka cita.”

2. Menjadi Sumber Inspirasi Perbuatan Baik

Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani berkata:

وَمِنْ نُعُوْتِهِمْ: أَنَّهُمْ الْمُوَرِّثُوْنَ جُلاَّسَهُمْ كَامِلَ الذِّكْرِ وَالْمُفِيْدُوْنَ خَلاَّنَهُمْ بِشَامِلِ الْبِرِّ.

“Di antara sifat-sifat para wali Allah adalah, bahawa mereka dapat membawa orang-orang yang bersama mereka untuk berzikir kepada Allah secara sempurna dan mempengaruhi mereka untuk selalu berbuat kebajikan.”

Hal tersebut berdasarkan Hadis Rasulullah saw:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَوْلِيَاءُ اللهِ ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ إِذَا رُؤُوْا ذُكِرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, berkata: “Rasulullah saw pernah ditanya: “Siapakah para wali Allah?” Beliau menjawab: “Yaitu orang-orang yang apabila dilihat, maka orang yang melihatnya akan ingat kepada Allah.”

Dalam menghurai maksud Hadis tersebut, Syeikh Al-Arif Billah Dr  Abdul Halim Mahmud, ulama sufi dari Mesir berkata:

وَفِيْ هَذَا الْحَدِيْثِ الشَّرِيْفِ مِنَ الدِّلاَلَةِ عَلَيْهِمْ كِفَايَةٌ تَامَّةٌ، فَأَوْلِيَاءُ اللهِ تَعَالَى: الَّذِيْنَ إِذَا رَآَهُمُ الْمُؤْمِنُ عَظَّمَ رَبَّهُ وَذَكَرَ ذَنْبَهُ.

“Hadis yang mulia ini menunjukkan dengan cukup dan sempurna bahwa para wali Allah itu adalah orang-orang yang apabila dilihat oleh seorang yang beriman, maka ia akan mengagungkan Tuhannya dan menyedari akan dosa-dosanya.”

3. Tidak Melaksanakan Perbuatan Tercela dan Dosa

وَمِنْهَا اَنَّهُمْ الْمُسَلَّمُوْنَ مِنَ الْفِتَنِ الْمُوْقُوْنَ مِنَ الْمِحَنِ.

“Di antara sifat-sifat wali Allah ialah mereka orang-orang yang selamat dari fitnah dan terjaga dari ujian (dosa dan kesalahan).”

Hal tersebut berdasarkan Hadis Rasulullah saw:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: إِنَ للهِ عَزَّ وَجَلَّ ضَنَائِنَ مِنْ عِبَادِهِ يُغْذِيْهِمْ فِيْ رَحْمَتِهِ وَيُحْيِيْهِمْ فِيْ عَافِيَتِهِ إِذَا تَوَفَّاهُمْ إِلَى رَحْمَتِهِ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ تَمُرُّ عَلَيْهِمُ الْفِتَنُ كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ وَهُمْ مِنْهَا فِيْ عَافِيَةٍ.

“Dari Ibnu Umar RA, bahawasanya Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt memiliki kekasih di antara hamba-hamba-Nya. Mereka selalu diberi rahmat-Nya dan hidup dalam perlindungan-Nya. Apabila mereka wafat, dimasukkan ke dalam syurga-Nya. Mereka adalah orang-orang yang selamat ketika berbagai fitnah mendera banyak orang.”

4. Tidak Materialistik

وَمِنْهَا أَنَّهُمْ الْمَضْرُوْرُوْنَ فِي اْلأَطْعِمَةِ وَاللِّبَاسِ الْمَبْرُوْرَةُ أَقْسَامُهُمْ عِنْدَ النَّازِلَةِ وَالْبَاسِ

“Di antara sifat-sifat wali Allah ialah mereka yang makanan dan pakaiannya sangat sederhana, tetapi doa mereka diterima ketika menghadapi musibah dan kesulitan.”
Hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah saw:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَرضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طَمْرَيْنِ تَنْبُوْ عَنْهُ أَعْيُنُ النَّاسِ لَوْ أَقْسَمَ عَلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَأَبَرَّهُ.

“Dari Abu Hurairah RA, berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Terkadang orang yang rambut dan pakaiannya lusuh serta dilecehkan oleh banyak orang, namun apabila dia berdoa kepada Allah, pasti dikabulkan.”

Demikianlah beberapa tanda wali Allah Swt yang disebutkan oleh al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani, seorang ulama sufi, dalam kitabnya Hilyatul-Auliyâ’ wa Thabaqatul-Ashfiyâ’. (Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani, Hilyatul-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut, Darul-Fikr, tt., vol. I, hlm. 5-7.).

Sementara itu, dalam kitab yang berbeda, al-Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi menyebutkan tentang ciri-ciri seorang wali Allah sebagai berikut:

عَلاَمَةُ الْوَلِيِّ ثَلاَثَةٌ شُغْلُهُ بِاللهِ تَعَالَى وَفِرَارُهُ إِلى اللهِ تَعَالَى وَهَمُّهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Tanda-tanda wali Allah ada tiga. Aktivitasnya hanya untuk Allah Swt, segala urusannya dikembalikan kepada Allah Swt dan cita-citanya (semangat juangnya) hanya untuk Allah Swt semata.” (Al-Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi, ar-Risalâh al-Qusyairiyyah, tahqîq Abdul Halim Mahmud, Kairo, Darul-Ma’arif, 1995, vol. II, hlm. 419.).

Pernyataan al-Imam al-Qusyairi ini memberikan kesimpulan bahwa ciri-ciri seorang wali Allah adalah orang yang menjadikan Allah Swt sebagai tujuan utama dari semua yang dikerjakannya. Tidak ada ambisi keduniaan semisal untuk dihargai dan dimuliakan manusia. Tetapi yang dicari adalah penghargaan dari Allah Swt.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menilai seseorang itu wali atau bukan, tidak didasarkan pada isu-isu dan rumor. Akan tetapi ada tanda-tanda yang dapat diterapkan secara ilmiah.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews 
Sumber MMN: 

Khamis, 17 November 2016

Pembahagian Tingkatan Para Wali Allah

1. Al-Aqtab
Al Aqtab berasal dari kata tunggal Al Qutub yang mempunyai erti penghulu. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Al Aqtab adalah darjat kewalian yang tertinggi. Jumlah wali yang mempunyai darjat tersebut hanya terbatas seorang saja untuk setiap masanya. Seperti Abu Yazid Al Busthami dan Ahmad Ibnu Harun Rasyid Assity. Di antara mereka ada yang mempunyai kedudukan di bidang pemerintahan, meskipun tingkatan taqarrubnya juga mencapai darjat tinggi, seperti para Khulafa’ur Rasyidin, Al Hasan Ibnu Ali, Muawiyah Ibnu Yazid, Umar Ibnu Abdul Aziz dan Al Mutawakkil.

2. Al-A immah
Al Aimmah berasal dari kata tunggal imam yang mempunyai erti pemimpin. Setiap masanya hanya ada dua orang saja yang dapat mencapai darjat Al Aimmah. Keistimewaannya, ada di antara mereka yang pandangannya hanya tertumpu ke alam malakut saja, ada pula yang pandangannya hanya tertumpu di alam malaikat saja.

3. Al-Autad
Al Autad berasal dari kata tunggal Al Watad yang mempunyai erti pasak. Yang memperoleh darjat Al Autad hanya ada empat orang saja setiap masanya. Kami menjumpai seorang di antara mereka dikota Fez di Morocco. Mereka tinggal di utara, di timur, di barat dan di selatan bumi, mereka bagaikan penjaga di setiap pelusuk bumi.

4. Al-Abdal
Al Abdal berasal dari kata Badal yang mempunyai erti menggantikan. Yang memperoleh darjat Al Abdal itu hanya ada tujuh orang dalam setiap masanya. Setiap wali Abdal ditugaskan oleh Allah swt untuk menjaga suatu wilayah di
bumi ini. Dikatakan di bumi ini mempunyai tujuh daerah. Setiap daerah dijaga oleh seorang wali Abdal. Jika wali Abdal itu meninggalkan tempatnya, maka ia akan digantikan oleh yang lain. Ada seorang yang bernama Abdul Majid Bin Salamah pernah bertanya pada seorang wali Abdal yang bernama Muaz Bin Asyrash, amalan apa yang dikerjakannya sampai ia menjadi wali Abdal? Jawab Muaz Bin Asyrash: “Para wali Abdal mendapatkan darjat tersebut dengan empat kebiasaan, yaitu sering lapar, gemar beribadah di malam hari, suka diam dan mengasingkan diri”.

5. An-Nuqaba’
An Nuqaba’ berasal dari kata tunggal Naqib yang mempunyai erti ketua suatu kaum. Jumlah wali Nuqaba’ dalam setiap masanya hanya ada dua belas orang. Wali Nuqaba’ itu diberi karamah mengerti sedalam-dalamnya tentang hukum-hukum syariat. Dan mereka juga diberi pengetahuan tentang rahsia yang tersembunyi di hati seseorang. Selanjutnya mereka pun mampu untuk meramal tentang watak dan nasib seorang melalui bekas jejak kaki seseorang yang ada di tanah. Sebenarnya hal ini tidaklah aneh. Kalau ahli jejak dari Mesir mampu mengungkap rahsia seorang setelah melihat bekas jejaknya. Apakah Allah tidak mampu membuka rahsia seseorang kepada seorang waliNya?

6. An-Nujaba’
An Nujaba’ berasal dari kata tunggal Najib yang mempunyai erti bangsa yang mulia. Wali Nujaba’ pada umumnya selalu disukai orang. Dimana sahaja mereka mendapatkan sambutan orang ramai. Kebanyakan para wali tingkatan ini tidak merasakan diri mereka adalah para wali Allah. Yang dapat mengetahui bahawa mereka adalah wali Allah hanyalah seorang wali yang lebih tinggi darjatnya. Setiap zaman jumlah mereka hanya tidak lebih dari lapan orang.

7. Al-Hawariyun
Al Hawariyun berasal dari kata tunggal Hawariy yang mempunyai erti penolong. Jumlah wali Hawariy ini hanya ada satu orang sahaja di setiap zamannya. Jika seorang wali Hawariy meninggal, maka kedudukannya akan di-ganti orang lain. Di zaman Nabi hanya sahabat Zubair Bin Awwam saja yang mendapatkan darjat wali Hawariy seperti yang dikatakan oleh sabda Nabi:
“Setiap Nabi mempunyai Hawariy. Hawariyku adalah Zubair ibnul Awwam”.

Walaupun pada waktu itu Nabi mempunyai cukup banyak sahabat yang setia dan selalu berjuang di sisi beliau. Tetapi beliau saw berkata demikian, kerana beliau tahu hanya Zubair sahaja yang meraih darjat wali Hawariy. Kelebihan seorang wali Hawariy biasanya seorang yang berani dan pandai berhujjah.

Tanda-Tanda Seseorang Itu Wali Allah Di Sepanjang Zaman


"Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah SWT".

Diantara tanda-tanda Wali Allah adalah:

1. Jika melihat mereka, akan mengingatkan kita kepada Allah Swt.
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, wali-wali-Ku adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka selalu mengingati-Ku dan Akupun mengingati mereka.” (Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6)

Dari Said ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah Saw ditanya: “Siapa Wali-wali Allah?” Maka Beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.” (Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’ dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6).

2. Jika mereka tiada, tidak pernah orang mencarinya.
Dari Abdullah Ibnu Umar Ibnu Khattab, katanya: “Pada suatu kali Umar mendatangi tempat Mu’adz ibnu Jabal ra, kebetulan ia sedang menangis, maka Umar berkata: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Mu’adz?” Kata Mu’adz: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang bertakwa yang suka menyembunyikan diri, jika mereka tidak ada, maka tidak ada yang mencarinya, dan jika mereka hadir, maka mereka tidak dikenal. Mereka adalah para imam petunjuk dan para pelita ilmu.” (Hadis riwayat Nasa’i, Al Bazzar dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah jilid I hal. 6)

3. Mereka bertakwa kepada Allah.
Allah Swt berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.. Dan bagi mereka diberi berita gembira di dalam kehidupan dunia dan akhirat” (QS Yunus: 62 - 64)

Abul Hasan As Sadzili pernah berkata: “Tanda-tanda kewalian seseorang adalah ridha dengan qadha, sabar dengan cobaan, bertawakkal dan kembali kepada Allah ketika ditimpa bencana.” (Hadisriwayat.Al Mafakhiril ‘Aliyah hal 104)

4. Mereka saling menyayangi dengan sesamanya.
Dari Umar Ibnul Khattab ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian hamba Allah ada orang-orang yang tidak tergolong dalam golongan para nabi dan para syahid, tetapi kedua golongan ini ingin mendapatkan kedudukan seperti kedudukan mereka di sisi Allah.”

Tanya seseorang: “Wahai Rasulullah, siapakah mereka dan apa amal-amal mereka?” Sabda Beliau: “Mereka adalah orang-orang yang saling kasih sayang dengan sesamanya, meskipun tidak ada hubungan darah mahupun harta di antara mereka. Demi Allah, wajah mereka memancarkan cahaya, mereka berada di atas mimbarmimbar dari cahaya, mereka tidak akan takut dan susah.”

Kemudian Rasulullah Saw membacakan firman Allah yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I, hal 5)

5. Mereka selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa “Rasulullah Saw bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, yaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.” (Hadist Riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’)

“Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal kerana takut akan shubhahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.” Kemudian Rasulullah saw menangis kerana rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat.” (Hadis riwayat Abu Hu’aim dalam kitab Al Hilya)

7. Mereka selalu terhindar ketika ada bencana.
Dari Ibnu Umar ra, katanya: Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang diberi makan dengan rahmat-Nya dan diberi hidup dalam afiyah-Nya, jika Allah mematikan mereka, maka mereka akan dimasukkan ke dalam syurga-Nya. Segala bencana yang tiba akan lenyap secepatnya di hadapan mereka, seperti lewatnya malam hari di hadapan mereka, dan mereka tidak terkena sedikitpun oleh bencana yang datang.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6)

8. Hati mereka selalu terkait kepada Allah.
Imam Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’I kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka.” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)

9. Mereka istiqamah bermunajat di akhir malam.
Imam Ghazali menyebutkan: “Allah pernah memberi ilham kepada para siddiq: “Sesungguhnya ada hamba-hamba-Ku yang mencintai-Ku dan selalu merindukan Aku dan Akupun demikian. Mereka suka mengingati-Ku dan memandang-Ku dan Akupun demikian. Jika engkau menempuh jalan mereka, maka Aku mencintaimu. Sebaliknya, jika engkau berpaling dari jalan mereka, maka Aku murka kepadamu“. Tanya seorang siddiq: “Ya Allah, apa tanda-tanda mereka?”

Firman Allah: “Di siang hari mereka selalu menaungi diri mereka, seperti seorang pengembala yang menaungi kambingnya dengan penuh kasih sayang, mereka merindukan terbenamnya matahari, seperti burung merindukan sarangnya. Jika malam hari telah tiba tempat tidur telah diisi oleh orang-orang yang tidur dan setiap kekasih telah bercinta dengan kekasihnya, maka mereka berdiri tegak dalam solatnya. Mereka merendahkan dahi-dahi mereka ketika bersujud, mereka bermunajat, menjerit, menangis, mengadu dan memohon kepada-Ku. Mereka berdiri, duduk, ruku’, sujud untuk-Ku. Mereka rindu dengan kasih sayang-Ku. Mereka Aku beri tiga kurniaan: Pertama, mereka Aku beri cahaya-Ku di dalam hati mereka, sehingga mereka dapat menyampaikan ajaranKu kepada manusia. Kedua, andaikata langit dan bumi dan seluruh isinya ditimbang dengan mereka, maka mereka lebih unggul dari keduanya. Ketiga, Aku hadapkan wajahKu kepada mereka. Kiranya engkau akan tahu, apa yang akan Aku berikan kepada mereka?” (Ihya’ Ulumuddin jilid IV hal 324 dan Jilid I hal 358)

10. Mereka suka menangis dan mengingat Allah.
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahawa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi.
Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahsia, kerana mereka takut mendapat siksa dari Allah.
Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya.
Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan.
Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah.
Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang.
Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang.
Mereka suka berpakaian sederhana.
Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an.
Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayang-Nya.
Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy. Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat.
Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi.
Kemudian Baginda Saw menyebutkan firman Allah yang artinya: “Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I, hal 16)

11. Jika mereka berkeinginan, maka Allah memenuhinya.
Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul Saw bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.”

Ketika Barra’ memerangi kaum musyrikin, para sahabat: berkata: “Wahai Barra’, sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda: “Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh kerana itu, berdoalah untuk kami.” Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan.

Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai syahid.

12. Keyakinan mereka dapat menggoncangkan gunung.
Abdullah ibnu Mas’ud pernah menuturkan: “Pada suatu waktu ia pernah membaca firman Allah: “Afahasibtum annamaa khalaqnakum ‘abathan”, pada telinga seorang yang pengsan, maka dengan izin Allah, orang itu segera sedar, sehingga Rasuulllah saw bertanya kepadanya: “Apa yang engkau baca di telinga orang itu?” Kata Abdullah: “Aku tadi membaca firman Allah: “Afahasibtum annamaa khalaqnakum‘abathan” sampai akhir surah.” Maka Rasul Saw bersabda: “Andaikata seseorang yakin kemujarabannya dan ia membacakannya kepada suatu gunung, pasti gunung itu akan hancur.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Al Hilya jilid I hal 7)

Bagaimanakah Seseorang Itu Menjadi Wali Allah
Sesesorang itu menjadi wali dengan salah satu dari dua cara iaitu:

1. Kerana Anugerah Allah
Adakalanya seorang menjadi wali kerana mendapat anugerah dari Allah meskipun ia tidak pernah dibimbing oleh seorang syeikh mursyid. Allah Swt berfirman:

“Allah menarik kepada agama ini orang yang di kehendakiNya dan memberi petunjuk kepada agama-Nya orang yang suka kembali kepada-Nya.” (Surah A-Syuara’ : 13)

2. Kerana Usaha Seseorang
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits Qudsi: “Allah berfirman: “Seorang yang memusuhi wali-Ku, maka Aku akan mengumumkan perang kepadanya. Tidak seorang pun dari hamba-Ku yang mendekat dirinya kepada-Ku dengan amal-amal fardhu ataupun amal-amal sunnah sehingga Aku menyayanginya. Maka pendengarannya, pandangannya, tangannya dan kakinya Aku beri kekuatan. Jika ia memohon sesuatu atau memohon perlindungan, maka Aku akan berkenan mengabulkan permohonannya dan melindunginya. Belum Aku merasa berat untuk melaksanakan sesuatu yang Aku kehendaki seberat ketika Aku mematikan seorang mukmin yang takut mati, dan Aku takut mengecewakannya.” (Hadis riwayat Al-Bukhari)

Apakah Seorang Wali Mengetahui Bahawa Dirinya Seorang Wali?
Tentang hal ini, para ulama mempunyai dua pendapat. Di antara mereka, ada yang berpendapat bahawa seorang wali tidak mengetahui bahawa dirinya adalah seorang wali. Sebab, ada kemungkinan pengetahuannya tentang dirinya dapat menghilangkan rasa takutnya kepada Allah dan ia merasa senang.

Tetapi, ada pula yang berpendapat bahawa seorang wali tahu bahawa dirinya seorang wali. Syeikh Al Qusyairi berkata: “Menurut kami, tidak semua wali mengetahui bahawa dirinya seorang wali. Tetapi ada pula yang mengetahui bahawa ia adalah seorang wali. Jika seorang wali mengetahui bahwa dirinya seorang wali, maka pengetahuannya itu adalah sebahagian dari karamahnya yang sengaja diberikan kepadanya secara khusus.” (Risalah Al Qusyairiyah jilid II hal 662)

Jumaat, 4 November 2016

Kisah Doa Seorang Rakyat

Seorang nelayan miskin yang hidupnya menanggung keluarga dengan hasil tangkapan ikan. 

Malangnya tangkapan ikannya selalu tiada. 

Hanya menggunakan jala, dia menebarkannya di tepian pantai dengan harapan akan ada ikan yang tersangkut.

Beberapa kali dicuba, nampaknya tiada razeki buatnya. 

Begitulah beberapa hari dan dia tidak berputus asa. 

Dia mempunyai kesabaran dan tekad berusaha yang tinggi.

Pada suatu hari, dia ke pantai lagi, menebar jala dengan harapan ada ikan yang tersangkut. 

Beberapa kali dicuba, namun tiada. 

Namun, dia mencuba juga dengan longlai dan penuh harapan. 

Lalu, Allah mentakdirkan seekor ikan besar terperangkap dalam jalanya. 

Alangkah gembiranya melihat ikan besar itu. 

Sambil menarik ikan tersebut, dia pun membayangkan apa yang akan dilakukan dengan ikan itu.

Akan aku beri makan kepada keluargaku sehingga kenyang. 

Kepada jiranku juga harus diberikan. 

Selebihnya barulah aku jualkan. 

Demikian nelayan itu merencanakan apa yang akan dibuatnya terhadap ikan itu. 

Razeki yang begitu sukar diperolehi.

Malangnya, ketika itu lalu seorang raja dengan askarnya. 

Raja itu sangat tertarik melihat ikan besar yang baru diperolehi nelayan itu. 

Lantas, disuruhnya pengawalnya mendapatkan ikan tersebut dari nelayan. 

Sudah tentu nelayan itu sangat keberatan. 

Setelah merasakan bahawa dia tidak dapat mempertahankan ikannya itu dari diambil oleh raja, dia pun meminta harga sebagai bayaran. 

Dengan angkuh pengawal itu merampas ikan itu dan mengatakan raja tidak membayar harga daripada apa yang dikehendakinya.

Maka, ikan itupun dibawa pergi. 

Bergenang air mata sang nelayan miskin yang daif dan tak mampu berbuat apa-apa. 

Haknya dirampas. 

Kepada siapa hendak dia mengadu? 

Hanya kepada Allah Tuhan yang satu. 

Dia pun menadahkan tangan dan berdoa.

Sementara raja itu, dengan senang hati kerana dapat ikan, disuruhnya tukang masak istana segera masakan ikan itu. 

Ikan besar itu dia seorang yang makan.

Malangnya, beberapa hari setelah makan ikan itu, raja telah dijangkiti satu penyakit aneh. 

Penyakit itu pada mulanya hanya berupa bengkak pada ibu jarinya. 

Bengkak itu disertai dengan sakit yang sangat mengganggu keselesaannya. 

Lama-lama mula bernanah. 

Tabib istana dipanggil dan setelah dicermati, dia menasihatkan supaya ibu jari kaki raja itu dipotong. 

Raja enggan menerima nasihat tabib istana dan disuruh carikan ubat untuk sakitnya. 

Namun ubat tidak ditemui juga walau bermacam ikhtiar diusahakan. 

Beberapa hari kemudian, tabib istana yang merawatnya memberitahu bahawa penyakit itu telah merebak hingga ke buku lali. 

Kakinya hendaklah dipotong supaya penyakit tidak merebak ke atas. 

Raja masih enggan menenerima nasihat tersebut kerana dia sayangkan kakinya. 

Dia memerintahkan agar dicari tabib lain yang lebih handal. 

Seorang tabib dari luar di bawa. 

Setelah melihat penyakit di kaki raja, dia pun memberitahu bahawa penyakit di kaki raja itu telah merebak hingga ke betis. 

Kalau tidak dipotong betis, ia akan merebak ke atas lagi. 

Ketika itu, akurlah sang raja. 

Lantas betisnya itu pun dipotonglah.

Raja sangat sedih atas kehilangan betisnya. 

Namun, kesedihannya tidak tamat di situ. 

Dalam keadaan sugul kerana kehilangan kakinya, tiba-tiba negerinya dilanda gempa. 

Harta benda dan jiwa banyak yang musnah. 

Keadaan ini membuatkan raja sangat hairan.

Lalu, raja memanggil seorang ulama dan bertanyakan maksud di sebalik semua musibah yang menimpanya itu.

" Tuanku telah menzalimi seseorang", ulama itu membuat rumusan.

" Seingat beta, tidak pernah beta zalimi sesiapa", ujar raja.

" Cuba Tuanku ingat betul-betul, pernahkah tuanku zalimi seseorang?", ulama itu tetap dengan rumusannya.

Maka, ketika mengimbau kembali apa yang telah dilakukannya, raja pun teringat perihal ikan yang dirampasnya dari nelayan. 

Ketika dia merampas ikan itu, dia tidak merasakan itu satu kezaliman. 

Apalah harganya seekor ikan.

" Perkara kecil di mata tuanku adalah besar di mata nelayan itu", ulama itu mengingatkan.

Raja itu memerintahkan agar nelayan itu dicari dan dibawa mengadapnya.

" Apa yang telah kamu lakukan setelah ikanmu beta rampas?", raja bertanya kepada nelayan itu.

" Saya tidak lakukan apa-apa", jawab nelayan ketakutan.

" Ceritakan terus terang, kamu tidak akan beta apa-apakan", raja memujuk dan menenangkan nelayan yang ketakutan itu.

Akhirnya nelayan itu pun berkata...

"Setelah ikan itu tuanku rampas, saya hanya mampu berdoa..." 

"Apa doamu?", soal raja 

Nelayan pun berkata: "Aku hadapkan wajahku kepada Allah dan berkata...

“Ya Allah, sesungguhnya dia telah memperlihatkan kekuasaannya atasku...Maka tunjukkanlah Kekuasaan Mu ke atasnya”.

Subhan Allah.

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahawa Nabi SAW telah mengutus Mu’adz ke Yaman dan Beliau berkata kepadanya : 

“Takutlah kamu akan doa seorang yang terzalimi, kerana doa tersebut tidak ada hijab (penghalang) di antara dia dengan Allah”.

(Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim)

Janganlah kamu berbuat zalim saat kamu berkuasa

***Maka kezaliman itu membawa akibat penyesalan

Kamu boleh lenakan mata tetapi yang dizalimi sentiasa berjaga.....

Khamis, 3 November 2016

Sultan Hisamuddin Alam Shah - Sultan Yang Menghormati Ulama

Sultan Hisamuddin Alam Shah adalah Sultan kedua yang dilantik menjadi Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong. Baginda merupakan Seri Paduka Baginda Yang Di-Pertuan Agong paling singkat menduduki takhta kerajaan Persekutuan. Gelaran Baginda ialah Almarhum Sultan Selangor Darul Ehsan, Duli Yang Maha Mulia Sultan Sir Hisamuddin Alam Shah AlHaj Ibni Almarhum Sultan Sir Ala'eddin Sulaiman Shah AlHaj, D.M.N.,S.M.N.,D.K.M.B.(Brunei),K.C.M.G.,C.M.G.(United Kingdom), King George V Silver Jubilee Medal, King George VI Coronation Medal, Queen Elizabeth II Coronation Medal.
Sultan Hisamuddin ketika muda.

Tarikh 13 Mei 1898 menyaksikan kelahiran seorang putera raja di Istana Bandar Temasha, Kuala Langat Selangor. Baginda merupakan putera ketiga kepada Sultan Selangor Sultan Sir Ala'eddin Sulaiman Shah Ibni Almarhum Yang DiPertuan Muda Musa. Bonda baginda ialah Cik Puan Hasnah Binti Pilong. Ayahanda baginda, Sultan Ala'eddin Sulaiman Shah menjadi Sultan Selangor semenjak 17 Februari 1899, setahun selepas baginda diputerakan. Sultan Hisamuddin amat bertuah kerana diahirkan dalam keluarga yang mempunyai pengetahuan agama yang tinggi. Ayahanda baginda merupakan seorang sultan yang mengasihi ulama'.



Sepertimana putera-putera sultan yang lain, Sultan Hisamuddin mendapat pendidikan yang cukup setaraf dengan pangkat dan kedudukan baginda. Baginda mendapat pendidikan rendah di Sekolah Melayu Bandar Kuala Langat dan seterusnya pengajian peringkat tinggi di Sekolah Melayu Kuala Kangsar (MCKK). Sultan Hisamuddin merupakan salah seorang pengasas Malay College Old Boys Association (MCOBA) pada tahun 1929. 

Pada tahun 1925, Sultan Hisamuddin menjadi Presiden Jawatankuasa Masjid Sultan Ala'eddin. Pada tahun 1931, ketika berusia 33 tahun, baginda menjadi setiausaha peribadi kepada ayahanda baginda yang juga Sultan Selangor. Baginda mengiringi ayahanda baginda ke majlis-majlis rasmi negeri. Dari sinilah baginda berlajar selok belok bagaimana menjadi pemerintah sesebuah negeri. 

Seterusnya pada tahun 1933, baginda dilantik sebagai Presiden Lembaga Sekolah-Sekolah Arab di Selangor. Kerjaya baginda banyak melibatkan hal ehwal agama islam. Baginda dididik sebagai seorang pemimpin yang mementingkan elemen-elemen islam. Bermula tahun 1934 hingga 1938, Sultan Hisamuddin bekerja sebagai Malay School Commissioner (MSC) di negeri Selangor.


Sultan Hisamuddin bersama Tengku Ampuan Jemaah, Sultan Abu Bakar dan Tuanku Syed Putra ketika istiadat pemakaman Tuanku Abdul Rahman.

Baginda dilantik sebagai Tengku Panglima Di Raja Selangor pada tahun 1920 ketika berusia 22 tahun. 11 tahun selepas itu, pada tahun 1931, Sultan Hisamuddin dilantik sebagai Tengku Laksamana Selangor dan berada di tangga kedua pewaris takhta negeri Selangor selepas Raja Muda Selangor. Ketika itu, Raja Muda Selangor adalah kekanda baginda, Tengku Musa Eddin.Namun, pihak British tidak menyukai Tengku Musa Eddin lalu memaksa Tengku Musa Eddin dilucutkan jawatan sebagai Raja Muda pada tahun 1934. Lalu, Sultan Hisamuddin dilantik secara rasmi sebagai Raja Muda Selangor pada 20 Julai 1936 di Istana Mahkota, Klang , mengenepikan seorang lagi kekanda baginda iaitu Tengku Badar Shah. 


Sultan Ala'eddin Sulaiman Shah mangkat pada 31 Mac 1938 pada usia 75 tahun seletah 39 tahun memerintah negeri Selangor. Maka, selaku Raja Muda, Sultan Hisamuddin dilantik sebagai Sultan Selangor yang baru pada 4 April 1938 ketika berusia 39 tahun. Istiadat pertabalan baginda diadakan di Istana Mahkota, Klang pada 26 Januari 1939. Istiadat pertabalan ini diketuai oleh kekanda sulung baginda, Tengku Kelana Jaya Putera, Tengku Musa Eddin Ibni Almarhum Sultan Ala'eddin Sulaiman Shah. 

Jepun menjajah Tanah Melayu pada tahun 1942. Gabenor Tentera Jepun di Selangor telah menjemput Sultan Hisamuddin ke King House, Kuala Lumpur. Baginda disuruh menyerahkan takhta dan regalia diraja kepada kekanda sulung baginda, Tengku Musa Eddin. Sultan Hisamuddin diturunkan takhta sebagai Sultan Selangor pada 15 Januari 1942 dan digantikan oleh kekanda baginda. Tengku Musa Eddin kemudiannya bergelar Sultan Musa Ghiatuddin Riayat Shah dan ditabalkan pada 4 November 1943. Sultan Hisamuddin enggan bekerjasama dengan Jepun. Baginda menolak elaun kepada baginda dan anakanda-anakanda baginda. 


Di atas singgahsana Istana Alam Shah.

Takhta negeri Selangor akhirnya kembali kepada baginda pada 1945 apabila Jepun menyerah kalah dan British kembali berkuasa di Tanah Melayu. Baginda kembali menjadi Sultan Selangor pada 14 September 1945. Kekanda baginda, Sultan Musa dibuang negeri oleh British ke Pulau Cocos Keeling. 

Sultan Hisamuddin merupakan seorang sultan yang menyokong gerakan nasionalis Melayu yang menentang British. Pada 1 Mac 1946, baginda telah merasmikan Kongress Melayu Pertama di Kelab Sultan Sulaiman, Kuala Lumpur. Kongres ini dianjurkan oleh Persatuan Melayu Selangor yang diketuai oleh pendeta Allahyarham Tan Sri Zainal Abidin Bin Ahmad atau Za'ba. Pada tahun 1953, baginda berangkat ke England bersama permaisuri baginda untuk menghadiri istiadat kemahkotaan Queen Elizabeth II di Westminster Abbey,London. 

Sultan Hisamuddin Alam Shah berkahwin sebanyak tiga kali. Kali pertama baginda mendirikan rumah tangga dengan Yang Mulia Raja Jemaah Binti Raja Ahmad, seorang kerabat diraja Selangor. Pasangan diraja ini berkahwin di Istana Mahkota, Klang pada tahun 1919. Ketika itu baginda berusia 20 tahun manakala Tengku Ampuan Jemaah berusia 19 tahun. 

Raja Jemaah kemudiannya bergelar Duli Yang Maha Mulia Tengku Ampuan Selangor dan Seri Paduka Baginda Raja Permaisuri Agong Tengku Ampuan Jemaah Binti Almarhum Raja Ahmad, D.K.(Selangor). Tengku Ampuan Jemaah merupakan puteri kepada YM Raja Ahmad dan YM Raja Fatimah Binti Raja Tahir. Perkahwinan baginda berdua dikurnikan seorang putera iaitu DYMM Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah yang menjadi Sultan Selangor pada tahun 1960. Tengku Ampuan Jemaah mangkat pada 8 April 1973 di Klang pada usia 73 tahun. Baginda dimakamkan di Makam Diraja Sultan Sulaiman,Klang.

Di dalam kapal pelayaran baginda ketika pulang dari menghadiri istiadat kemahkotaan Queen Elizabeth II.

Kali keduanya baginda berumah tangga dengan orang kebanyakan iaitu Cik Puan Hajah Kalsum Binti Haji Mahmud. Baginda berkahwin pada tahun 1927. Cik Puan Kalsum dilahirkan pada tahun 1913 dan berusia 14 tahun ketika berkahwin dengan Sultan Hisamuddin manakala baginda berusia 28 tahun. Perkahwinan baginda kali ini mempunyai 3 orang putera dan 3 puteri. Putera-putera baginda terdiri daripada YAM Tengku Laksamana Tengku Badli Shah, YAM Tengku Bendahara Tengku Azman Shah, YAM Tengku Besar Putra Tengku Ismail Shah. Manakala puteri-puteri baginda ialah DYTM Raja Puan Muda Kedah Tengku Raudzah, DYMM Tengku Ampuan Besar Terengganu Tengku Bariah, dan YAM Tengku Taksiah. Cik Puan Kalsum meninggal dunia pada 6 Mei 1990 pada usia 87 tahun.



Untuk kali ketiganya Sultan Hisamuddin berkahwin dengan Yang Teramat Mulia Raja Halijah Binti Almarhum Sultan Sir Idris Murshid Al Azzam Shah, puteri Sultan Perak. Namun perkahwinan baginda berdua tidak dikurniakan sebarang cahaya mata. Raja Halijah merupakan puteri bongsu kepada Sultan Sir Idris Murshid dan isteri baginda Yang Teramat Mulia Tengku Permaisuri Cik Haji Ngah Uteh Mariah Binti Haji Sulaiman.

Setelah kemangkatan Seri Paduka Baginda Yang Di Pertuan Agong Pertama Tuanku Abdul Rahman pada 1 April 1960, Sultan Hisamuddin yang ketika itu bergelar Timbalan Yang Di Pertuan Agong dipilih menjadi Seri Paduka Baginda Yang Di Pertuan Agong Kedua Persekutuan Tanah Melayu pada 14 April 1960. 

Pada 30 Julai 1960, baginda mengumumkan tamatnya tempoh darurat di Persekutuan Tanah Melayu. Namun takdir telah menentukan, baginda telah mangkat pada 1 September 1960 ketika berusia 62 tahun. Baginda mangkat akibat penyakit yang tidak diketahui di Istana Tetamu, Kuala Lumpur pada tarikh yang ditetapkan untuk pertabalan baginda sebagai Yang Di Pertuan Agong. 

Baginda merupakan satu-satunya Yang Di Pertuan Agong yang tidak sempat ditabalkan dan baginda tidak pernah bersemayam di Istana Negara. Jenazah baginda telah dimakamkan penuh adat istiadat di Makam Diraja Masjid Sultan Sulaiman, Klang pada 3 September 1960. Jawatan Seri Paduka Baginda Yang Di Pertuan Agong disandang oleh Raja Perlis, Tuanku Syed Putra Ibni Almarhum Syed Hassan Jamalillail. Anakanda sulung baginda, Tengku Abdul Aziz dilantik sebagai Sultan Selangor dengan bergelar Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah.


Baginda dikenali sebagai seorang sultan yang alim dan warak. Imej baginda yang seringkali berjubah putih amat menarik minat rakyat jelata. Oleh kerana itu, nama Kolej Islam Klang telah ditukar kepada Kolej Islam Sultan Alam Shah mengambil sempena nama baginda. Sekolah Sultan Alam Shah juga mengambil nama baginda. Ibu negeri Selangor, Shah Alam juga mengambil sempena nama baginda. Mewarisi ilmu agama daripada Almarhum ayahanda baginda, Sultan Hisamuddin merupakan sultan pertama yang membaca khutbah Jumaat di masjid. 

Sesungguhnya, ketokohan Almarhum Sultan Hisamuddin harus disanjung dan diingati oleh semua rakyat jelata. Kesungguhan baginda dalam mentadbir negeri Selangor dan kearifan baginda dalam bidang keagamaan harus dijadikan contoh oleh kita semua. Legasi yang ditinggalkan baginda bukan sedikit. Marilah kita sedekahkan Al Fatihah kepada Almarhum Sultan Hisamuddin Alam Shah AlHaj Ibni Almarhum Sultan Ala'eddin Sulaiman Shah AlHaj sebagai tanda kenangan kepada baginda. Semoga roh baginda ditempatkan oleh ALLAH SWT bersama orang-orang yang beriman dan beramal soleh.

Sultan Hisamuddin Alam Shah dan Tengku Ampuan Jemaah.

Yang Di Pertuan Agong Pertama Tuanku Abdul Rahman dan Timbalan Yang Di Pertuan Agong Sultan Hisamuddin Alam Shah.

Ketua Menteri Persekutuan Tunku Abdul Rahman mencium tangan Sultan Hisamuddin Alam Shah.

Menerima tabik kehormat barisan kawalan kehormatan bersama anakanda baginda, Tengku Abdul Aziz Shah.

Almarhum Sultan Hisamuddin Alam Shah AlHaj Ibni Almarhum Sultan Sir Ala'eddin Sulaiman Shah AlHaj.

Rabu, 2 November 2016

Sultan Yang Mengasihi Ulama

Dulu Sultan-sultan di Tanah Melayu ini sangat mengasihi, menghormati dan membesarkan para ulama. Para ulama dijadikan tempat rujuk sekelian Baginda Raja-raja Melayu itu. Bahkan para sultan itu sendiri pun alim-alim dan warak orangnya seperti contoh Sultan Zainal Abidin di terengganu dan lain-lain. 

Bila penjajah datang, institusi raja-raja melayu inilah yang di kucarkacirkan mereka. Berlakulah apa yang berlaku. 

Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

ANTARA sekian ramai sultan di dunia Melayu, terdapat beberapa orang sultan yang terlibat secara langsung dalam aktiviti Islam. Ada yang mengasihi ulama, bahkan ada yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama Islam. Ada juga yang menghasilkan karangan berupa risalah atau pun kitab. Sultan Sulaiman, Sultan Selangor Darul Ehsan dapat dikategorikan seorang sultan yang mengasihi ulama. Mengenainya dapat dibaca dalam riwayat Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, Syaikhul Islam Selangor, dalam Ruangan Agama, Utusan Malaysia, terbitan Isnin, 22 Mac 2004, Seksyen 3, halaman 9.Nama lengkapnya ialah Sultan Alauddin Sulaiman Syah bin Raja Muda Musa bin Sultan Abdul Samad bin Raja Abdullah bin Sultan Ibrahim Syah bin Raja Lumu (Sultan Salehuddin Syah, Sultan Selangor yang pertama) bin Upu Daeng Celak (Yamtuan Muda Riau yang kedua). Sultan Sulaiman lahir pada 19 Rabiul Akhir 1282 Hijrah/11 September 1865 Masihi dan mangkat pada 30 Muharam 1357 Hijrah/31 Mac 1938 Masihi. Baginda Sultan Sulaiman merupakan Sultan Selangor ke-5, yang bertahta pada tahun 1898 Masihi - 1938 Masihi, memerintah dalam masa lebih kurang 40 tahun.

KETURUNAN
Memperhatikan jalur keturunan di atas dapat dipastikan bahawa dari sebelah ayah baginda, Sultan Sulaiman adalah keturunan anak Raja Bugis yang berasal dari Luwuk, Sulawesi dan dari sebelah ibu baginda adalah keturunan puteri Kerajaan Riau. Datuk neneknya, Raja Lumu adalah adik beradik dengan pahlawan Melayu yang terkenal, iaitu Raja Haji asy-Syahid fi Sabilillah yang meninggal dunia dalam peperangan melawan Belanda di Teluk Ketapang, Melaka pada 18 Jun 1784 Masihi. Raja Haji secara rasminya dianugerah sebagai Pahlawan Nasional Indonesia yang disertai dengan Piagam dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana pada 11 Ogos 1997 oleh Presiden Republik Indonesia yang ditandatangani oleh Soeharto.

AKTIVITI ISLAM
Atas rasa kewajipan dan tanggungjawab menyebar dan mempertingkatkan pengetahuan Islam di Kerajaan Selangor, Sultan Sulaiman telah mendatangkan beberapa orang ulama besar dalam kerajaan yang diperintahnya. Antara ulama yang paling dekat dengannya ialah Tengku Mahmud Zuhdi bin Abdur Rahman al-Fathani. Sultan Sulaiman sangat mesra dan kasih kepada Tengku Mahmud Zuhdi bin Abdur Rahman al-Fathani dalam Selangor sendiri hinggalah ketika beliau satu ketika pergi ke luar negara (terutama ke London), ulama yang berasal dari Patani itu ikut bersama-sama dalam rombongan beliau. 

Peristiwa ini mencerminkan bahawa Sultan Sulaiman berusaha sedemikian rupa menggabungkan kerjasama, kesepaduan dan keserasian antara umara dan ulama sebagaimana yang disuruh oleh Rasulullah s.a.w. -Dalam penyebaran Islam di negeri lain selain Selangor, Sultan Sulaiman juga mempunyai rasa tanggungjawab. Sebagai buktinya, walaupun baginda kasih terhadap Tengku Muhammad bin Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, namun kerana masyarakat Jambi sangat memerlukan ulama, baginda merestui keberangkatan Tengku Muhammad dari Klang ke Jambi. 

Sebagai bukti bahawa Sultan Sulaiman mementingkan pembangunan keIslaman, beliau juga membina sebuah masjid yang diberi nama dengan nama baginda iaitu Masjid Alauddin di Kuala Langat, Selangor. Di masjid tersebutlah Sultan Alauddin Sulaiman Syah selalu membaca khutbah Jumaat, khutbah kedua-dua hari raya; Aidilfitri dan Aidiladha. Dalam gambar kelihatan bahawa baginda sedang menyampaikan khutbah. Ini sebagai bukti bahawa baginda adalah seorang sultan yang mampu dan aktif dalam kegiatan-kegiatan Islam.

PENULISAN
1. Kitab Pohon Ugama Bahagian Rukun Iman, diselesaikan 1337 H/1919 M. Cetakan ketiga, Mathba'ah New Klang Press, Klang, 15 Jamadilakhir 1349 H/1930 M. Kandungan, setelah ``Pendahuluan'' oleh baginda sendiri, Rahman al-Fathani. Antara pandangan Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, ``Terlihatlah hamba yang daif atas kitab ini, Pohon Ugama, karangan bagi Yang Maha Mulia Sultan Selangor Maulana al-Mu'azzam Sir Alauddin Sulaiman Syah ... Maka patut dijadikan pelajaran kanak-kanak yang mubtadi pada tiap-tiap sekolah ugama supaya berkekalan manfaatnya istimewa pula ...'' Kandungan yang menjadi topik perbahasan keseluruhan ialah mengenai akidah. Pada halaman 25 terdapat gambar baginda sedang duduk di atas mimbar Masjid Alauddin dalam rangka membaca khutbah.

Ilmu Tauhid
2. Kitab Melatih Kanak-Kanak Laki-Laki Perempuan, Agama Islam 1, diselesaikan di Istana Mahkota Puri, Klang 3 Zulhijjah 1348 H. Dicetak oleh The Boon Hua Press, Klang, 1349 H/1930 M. Kandungan, antara kalimat baginda yang bersajak pada pendahuluan, ``... pada bicarakan ilmu tauhid pangkal agama Islam. Yang sangat hampir fahamnya dan mengertinya bagi segala awam. Dicadangkan dia bagi mereka yang berkehendak kemenangan lama. Daripada kanak-kanak yang baharu belajar di dalam sekolah agama ...'' Pada halaman 27 terdapat satu judul yang agak menarik, ialah ``Nasihat Guru Pada Murid''. Mengenai ini baginda menulis dalam bentuk puisi yang terdiri daripada 22 bait empat-empat rangkap. 

Sebagai contoh, beberapa bait antaranya ialah:
``Tuntutlah ilmu akhirat dunia,
hidup matimu dapat bahagia.
Ke manamu pergi jadi mulia,
tidaklah hidup sia-sia
Pergi sekolah janganlah segan,
ilmu agama jangan dilupakan
Sama dituntut sama amalkan,
dua-duanya sama muliakan.
Agama Islam amat sebenar,
peraturannya cukup benar.
Tetaplah padanya jangan nanar,
beroleh kebajikan yang bersinar ... ``

*Puisi yang mengandungi pemantapan pengenalan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. di atas baginda tutup dengan beberapa bait, katanya,
``Sekadar ini rencananya disurat,
supaya ingat jangan melarat.
Menghafaz membaca janganlah berat,
iman di dada akar berurat.
Cinta ibu harus diingat,
bapa berharap beserta sangat
Anak yang soleh jadi semangat,
setiap waktu setiap saat.
Harap ibu orang yang cinta,
bapa dan kaum pula serta.
Anak berilmu alim pendeta,
biarlah habis wang harta

Karya di atas juga telah disemak oleh Tengku Mahmud Zuhdi al- Fathani. Selain memuji kandungan karya, Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani juga memuji baginda sultan, katanya, ``... padahal ia daripada karangan orang yang mempunyai akal yang sempurna. Dan tinggi hemah pada meneguhkan tiap-tiap pekerjaan yang berguna. Iaitu mereka yang menghamparkan atas rakyatnya naung kurnia. Dan aman hadhrat yang mentadbirkan dan memerintahkan negeri Selangor Darul Ehsan Yang Maha Mulia Maulana as-Sultan Sir Alauddin Sulaiman Syah ibni al-Marhum Maulana al-Mu'azzam Raja Musa ...''

KETURUNAN

Sultan Sulaiman berkahwin beberapa kali dan mempunyai keturunan yang ramai. Yang dipaparkan dalam artikel ini sekadarnya sahaja, kerana ketiadaan cukup ruangan. Perkahwinan pertamanya dengan Tengku Ampuan Maharum binti Tunku Dhiyauddin/Tengku Kudin Kedah, memperoleh seorang putera dan empat puteri. Putera baginda ialah Sultan Ghiatuddin Riayat Syah, Sultan Selangor yang ke-7 (1942 M- 1945 M).Baginda berkahwin pula dengan Cik Hasnah/Cik Aminah binti Pelong Makam Bandar, memperoleh dua putera dan dua puteri. Putera yang menjadi sultan ialah Sultan Hisamuddin Alam Syah, Sultan Selangor yang ke-6 (1938 M- 1942 M dan 1945 M - 1960 M). Baginda sempat menjadi Yang Dipertuan Agong Malaysia ke-2 tetapi tidak sempat mengakhiri jabatannya kerana baginda mangkat (1960 M).

 

Sample text

Sample Text

Sample Text