Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pernah shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat yaitu Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’.
Dalam salah satu riwayat Muslim, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara jamak di kota Madinah padahal tidak ada ketakutan, tidak pula sedang bepergian”.
Abu az Zubair mengatakan bahwa aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat demikian. Kata Sa’id, “Hal itu sudah kutanyakan kepada Ibnu Abbas. Jawaban Ibnu Abbas, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin untuk tidak menyusahkan satupun dari umatnya’.
Dalam riwayat Muslim yang lain, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ di Madinah padahal tidak ada rasa takut, tidak pula ada hujan” (HR Bukhari no 522 dan Muslim no 705).
Kandungan Hadits
Hadits ini merupakan dasar pokok disyariatkannya shalat jamak bagi bukan musafir. Sejumlah ulama berpendapat dengan makna tekstual hadits tersebut. Oleh karena itu, mereka berpendapat bolehnya menjamak shalat ketika tidak bepergian karena ada kebutuhan apapun bentuk kebutuhan tersebut namun dengan syarat tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Sirin, Rabi’ah, Asyhab, Ibnul Mundzir dan al Qoffal al Kabir. Menurut penjelasan al Khatabi hal ini juga merupakan pendapat sejumlah ulama pakar hadits (Fathul Bari 2/24).
Secara langsung hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di kota Madinah tanpa udzur. Sedangkan secara tidak langsung hadits di atas menunjukkan bahwa rasa takut, hujan dan bepergian merupakan faktor-faktor yang membolehkan untuk menjamak shalat.
Tidak terdapat penjelasan valid tentang sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat sebagaimana dalam hadits di atas selain penjelasan Ibnu Abbas ‘Nabi ingin untuk tidak menyusahkan satupun dari umatnya’. Kaedah mengatakan bahwa seorang perawi itu lebih tahu tentang maksud hadits yang dia riwayatkan.
Imam Syafii mengatakan, “Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Di antaranya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah dengan tujuan memberi kelonggaran untuk umatnya sehingga tidak ada seorangpun yang berat hati untuk menjamak shalat pada satu kondisi”. Setelah itu beliau mengatakan,
” وليس لأحد أن يتأوّل في الحديث ما ليس فيه “
“Tidak boleh bagi seorangpun untuk mengotak atik hadits dengan hal yang tidak terdapat di dalamnya” (Al Umm 7/205).
An Nawawi mengatakan, “Pendapat ini dikuatkan oleh makna eksplisit dari pernyataan Ibnu Abbas, ‘Nabi ingin agar tidak menyusahkan umatnya’. Ibnu Abbas tidak memberikan alasan karena sakit atau faktor yang lain” (5/219).
Dalam salah satu riwayat Bukhari, Ayub bertanya, “Boleh jadi malam itu turun hujan?”. Gurunya mengatakan, “Boleh jadi”.
Ibnu Hajar mengatakan, “Kemungkinan karena faktor hujan juga dilontarkan oleh Malik setelah meriwayatkan hadits di atas. … Akan tetapi dalam riwayat Muslim dan Ashabus Sunan disebutkan ‘padahal tidak ada rasa takut, tidak pula ada hujan’. Sehingga jelaslah bahwa jamak tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlakukan bukan karena rasa takut, bepergian atau karena hujan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat ketika itu mungkin karena faktor sakit. Inilah pendapat yang dipilih oleh An Nawawi. Akan tetapi, jika dicermati secara seksama pendapat ini juga tetap kurang tepat. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat karena sakit, berarti para shahabat yang shalat bersama beliau hanya para shahabat yang sedang sakit saja. Padahal secara eksplisit Nabi menjamak shalat dengan semua shahabat sebagaimana penegasan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas”.
An Nawawi juga mengatakan, “Ada ulama yang menjelaskan bahwa ketika itu ada mendung lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur. Setelah mendung hilang misalnya diketahui bahwa waktu Ashar sudah tiba. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lanjutkan dengan shalat Ashar”. Komentar An Nawawi terhadap pendapat ini, “Ini adalah pendapat yang mengada-ada. Meski ada sedikit kemungkinan untuk menerima pendapat ini untuk memahami shalat jamak yang Nabi lakukan untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Namun kemungkinan ini jelas tertolak untuk shalat Maghrib dan Isya” (Fathul Bari 2/30).
Jamak Shuri
Ada ulama yang memahami jamak dalam hadits di atas dengan jamak shuri. Akan tetapi pendapat ini tertolak dengan perkataan perawi, ‘Nabi ingin tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya’.
Ibnu Hajar berkata, “Keinginan Nabi untuk menghilangkan kesusahan dari umatnya adalah bantahan terhadap yang mengatakan bahwa jamak tersebut adalah jamak shuri. Karena jamak shuri itu tidak bisa lepas dari kesulitan” (Fathul Bari 2/31).
Jamak shuri adalah menunda pelaksaan shalat zhuhur -misalnya- sampai di akhir waktunya lalu shalat ashar dikerjakan pada awal waktunya. Nampaknya jamak padahal masing-masing shalat tetap dikerjakan pada waktunya masing-masing.
Jamak karena Sakit
Sakit adalah alasan yang bisa dibenarkan untuk menjamak shalat. Ketika seorang yang sakit kesulitan untuk shalat di waktunya masing-masing maka dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama bersilang pendapat mengenai shalat jamak bagi orang yang sakit baik ketika bepergian ataupun tidak. Sejumlah ulama membolehkan orang sakit untuk menjamak shalat di antaranya adalah Atha’ bin Abi Rabah. Tentang orang sakit Malik mengatakan, “Jika lebih mudah baginya untuk menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar di tengah-tengah waktu Zhuhur maka hal tersebut dibolehkan kecuali jika dia khawatir akan jatuh pingsan sebelum itu maka boleh menjamak setelah zawal/setelah matahari bergeser ke barat. Demikian untuk shalat Maghrib dan Isya’, jamak dilakukan ketika awan merah telah menghilang. Akan tetapi jika si sakit khawatir akan jatuh pingsan maka boleh menjamak shalat sebelum itu. Jamak bagi orang sakit itu hanya dibolehkan bagi orang yang sakit perut atau sakit semisal itu atau orang yang sakitnya parah yang dengan menjamak shalat itu lebih memudahkannya” (Al Ausath 2/434 dan al Istidzkarkarya Ibnu Abdil Barr 6/36-37).
Al Laits mengatakan bahwa jamak shalat itu dibolehkan bagi orang yang sakit secara umum dan sakit perut secara khusus. Abu Hanifah mengatakan bahwa orang yang sakit itu dibolehkan untuk menjamak shalat sebagaimana jamak yang dilakukan oleh seorang musafir. Ahmad dan Ishaq juga menegaskan bahwa orang yang sakit itu boleh menjamak shalat (Al Istidzkar 6/37).
Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama dari kalangan tabi’in membolehkan orang sakit untuk menjamak shalat. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sebagian ulama juga membolehkan menjamak shalat karena hujan. Inilah pendapat Syafii, Ahmad dan Ishaq. Akan tetapi Syafii tidak membolehkan shalat jamak bagi orang yang sakit” (Jami’ Tirmidzi 1/357).
Sakit yang membolehkan untuk menjamak shalat adalah jika si sakit akan kesulitan dan fisik tidak mampu untuk mengerjakan shalat pada waktunya masing-masing. Al Atsram mengatakan bahwa Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad pernah ditanya apakah orang yang sakit dibolehkan untuk menjamak shalat. Jawaban Imam Ahmad, “Aku harap demikian jika fisiknya lemah dan tidak mampu mengerjakan shalat kecuali dengan cara demikian. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi wanita yang mengalami istihadhah, orang yang terkena penyakit beseren dan orang yang keadaannya sebagaimana mereka” (Mughni 3/136).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits-hadits seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, maka dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi. Demikian pula dibolehkan untuk menjamak shalat bagi seorang yang tidak memungkinkan untuk melakukan bersuci yang sempurna di masing-masing waktu shalat kecuali dengan kerepotan semisal wanita yang mengalami istihadhah dan kasus-kasus semisal itu” (Majmu’ Fatawa 24/84).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang yang menjamak shalat karena safar apakah dia diperbolehkan menjamak secara mutlak ataukah jamak itu hanya khusus bagi musafir. Imam Ahmad dalam masalah ini memiliki dua pendapat baik ketika bepergian ataupun tidak bepergian. Oleh karena itu, Imam Ahmad menegaskan bolehnya jamak karena adanya kesibukkan (yang merepotkan untuk shalat pada waktunya masing-masing).
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ‘Semua alasan yang menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yang membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yang menghadang di jalan, angin yang kencang membawa hawa dingin menurut zhahir pendapat Imam Ahmad. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yang mengalami istihadhah dan wanita yang menyusui (yang harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)” (Majmu Fatawa24/14).
0 ulasan:
Catat Ulasan