Syariahcenter.com – Dua kisah berikut ini merupakan kisah nyata yang saya dapatkan dari Al Habib Jailani Asy-Syathiri kemarin, 26 Rabiul Awal 1437 atau 7 Januari 2015, di Rubat, Tarim, Yaman, pukul 06.30 waktu setempat.
Pertama, Habib Jailani bercerita
Bahawa kisah yang ia sampaikan berasal dari Sayyid Muhammad al-Maliki dan Sayyid Muhammad dari ayahandanya Sayyid Alwi al-Maliki. Cerita bermula ketika Sayyid Alwi menghadiri peringatan Maulid Nabi di Palestina. Beliau terheran-heran menyaksikan orang yang terus berdiri sejak awal pembacaan maulid.
Sayyid Alwi pun memanggilnya, “Duhai tuan apa yang Anda lakukan, mengapa Anda berdiri sejak awal Maulid?”
Lalu ia menjawab bahawa dulu ia pernah berjanji saat menghadiri sebuah Maulid Nabi untuk tidak berdiri hingga acara selesai, termasuk saat Mahallul Qiyam, momen di saat jamaah berdiri serentak sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah. “Sebab menurutku itu bid’ah,” katanya.
Tiba-tiba, kata orang itu kepada Sayyid Alwi, pada momen Mahallul Qiyam ia menyaksikan Rasulullah hadir dan lewat di sebelahnya lalu berujar, “Kamu tak usah berdiri kamu duduk saja di tempatmu.”
“Aku pun ingin berdiri namun terasa susah. Sejak itulah aku sering sakit dan bahkan organ-organku bermasalah. Sehingga aku bernazar jikalau Allah menyembuhkan penyakitku maka aku berjanji setiap ada maulid aku akan berdiri dari awal maulid hingga akhir. Dan alhamdulillah, dengan izin Allah aku diberikan kesembuhan, duhai Sayyid.”
Sayyid Alwi pun mempersilakan orang tersebut melaksanakan nazarnya.
Kedua, kisah maulid Nabi yang datang dari Lebanon.
Warga di Lebanon, biasa merayakan Maulid Nabi dengan menembakkan senjata api ke atas untuk menunjukkan kegembiraan. Tradisi ini dilakukan turun temurun. Hampir mirip dengan tradisi pernikahan di Arab pada umumnya. Nah, suatu ketika seorang puteri beragama Nasrani bani Ghatas ikut melihat perayaan tersebut. Nasib nahas menimpanya kala seorang dari mereka melepaskan tembakan. Peluru yang dilepaskan tersasar ke arah puteri tersebut dan menembus tepat di kepalanya.
Ia pun bersimbah darah dan jatuh ke tanah. Ibunya yang melihat kejadian itu berteriak histeris, “Binti… Binti… Binti…. (puteriku… Puteriku… Puteriku).”
Dengan segera anaknya dilarikan ke Rumah Sakit Ghassan Hamud. Sayang, pihak rumah sakit tak mampu berbuat apa-apa sebab pendarahan di otak terlalu parah. Mereka menyarankan agar segera dirujuk ke rumah sakit di Amerika yang lebih kompeten. Tapi ternyata kondisinya kian parah dan sudah di ambang ajal. Mereka pun tak bisa berbuat banyak.
Sementara ibunya kerana panik penuh kecewa dan marah dia menjerit-jerit dan berkata:
يا محمد أين أنت يا محمد، وأنت تدعى النبوة؟
انظر ماذا فعل أمتك إلى بنتي في يوم احتفال مولدك؟
“Di manakah engkau, hai Muhammad yang mengaku sebagai Nabi? Lihatlah apa yang dilakukan umatmu kepada anakku pada perayaan hari kelahiranmu?”
Teriakan ini tentu dimaksudkan untuk menghendik Rasulullah SAW.
Doktor telah memastikan bahawa anaknya telah meninggal dunia dan ketua doktor di sana mempersilakan siibu untuk melihat anaknya untuk terakhir kalinya. Dengan lemas dan dipapah ibu Nasrani itu pun masuk ke ruangan.
Sebuah keajaiban terjadi. Ketika sang ibu sudah di dalam ruangan, dia melihat anaknya sedang duduk di tepi tempat tidur dalam kondisi segar bugar sambil berteriak, “”Ibu… Ibu… Ibu… Tutup pintu dan jendela ibu! Jangan biarkan ia keluar!”
Antara percaya dan tidak. Si ibu yang bingung lantas bertanya, “Siapa, duhai puteriku?”
Si ibu mendekati anaknya untuk memastikan bahawa kondisi puterinya itu baik-baik saja.
Allahu akbar! Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal. Selain sehat bugar, percikan darah dan bekas luka tembakan di kepala puterinya itu pun sudah tidak. Bahkan tidak kesan apa-apa pun sama sekali seolah-olah tidak pernah berlaku apa pun musibah kecederaan kepada siputeri!!
“Puteriku, apa yang terjadi?”
Puterinya menjawab sambil tersenyum kegirangan, “Ibu.. Ibu… Dia datang menyapu mengusap kepalaku sambil tersenyum.”
“Siapa dia, Sayang?”
“Muhammad , Muhammad, Ibu,” jawab anak itu.
“Aku bersaksi duhai ibu bahawa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Ternyata, teriakan si ibu disambut oleh Nabi Agung Muhammad SAW. Beliau hadir dengan kelembutan dan memberikan cahaya penerang bagi kegelapan. Syahadat ini lalu diikuti para doktor yang menyaksikan peristiwa tersebut dan orang-orang di desa tempat puteri tersebut tinggal.
(Pengirim: Moh Nasirul Haq, Santri Rubat Syafi’ie Mukalla Yaman/ nuorid)
0 ulasan:
Catat Ulasan