Tingkatan para Mujtahid terbahagi dua:
1) Mustaqil.
Mustaqil adalah seorang mujtahid yang memenuhi semua syarat-syarat ijtihad mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas dari qaedah mazhab lainnya
Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak diperdapatkan semenjak masa setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi mengatakan keinginan manusia pada hari ini ingin menjadi mujtahid adalah suatu hal yang mustahil.[7] Ulama yang mencapai tingkatan ini antara lain Imam Mujtahid yang empat dan para imam mujtahid lainnya sebelum masa mereka.
2) Ghairu Mustaqil (muntasib).
Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:
Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab maupun dalil karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil. Tetapi ia masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali hukum masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[8] Ulama yang berada pada tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.
Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu mazhab, sanggup mengusai dan mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi dalil-dalilnya tidak keluar dari qawaid dan dalil Imam. Syarat mujtahid pada tingkatan ini adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam, menguasai masalik qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali dan mengupas hukum, mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash Imam. Bagi mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini adalah tingkatan ashhabil wujuh. Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[9]
Mujtahid yang tidak sampai tingkatan Ashhabil wujuh karena kekurangan mereka dalam memahami mazhab, kurang tebiasa dalam istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ yang tinggi, menguasai mazhab imamnya, memahami dalil, dan sanggup mengurai dan mentarjihnya. Diantara ulama tang berada pada tingkatan ini adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.
Mujtahid yang mampu menaqal/mengutip dan memahami mazhab imamnya baik yang jelas maupun yang sukar. Namun tidak sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[10]
Sebagian para ulama membahagikan tingkatan mujtahid hanya kepada tiga :
1) Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat
2) Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.
3) Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar Rafii.
Kewajiban bermazhab
Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai (alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.
Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai (alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.
Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis bahkan bagi mereka tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al Quran dan Hadis.
Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist, Ijma' dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.
Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.
Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist, Ijma' dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.
Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.
Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan dengan mengkonsumsi makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat.
Demikian juga dalam taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang dihasilkan adalah hukum yang fasid.
Demikian juga dalam taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang dihasilkan adalah hukum yang fasid.
Ayat dan Hadis landasan Taqlid
Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadis yang menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain:
Surat Al Anbiya ayat 7
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون“
"Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”
(Qs.Al-anbia:7)
"Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”
(Qs.Al-anbia:7)
Memang ayat diatas asbabun nuzulnya untuk menyikapi prediksi orang-orang musyrik yang menyatakan Allah tidak akan mengutus rasul dari jenis manusia . Namun dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi pertimbangan hukum dan titik tekan dalam sebuah ayat adalah keumuman (universal) lafadz ayat.
Dengan demikian ayat diatas sebenarnya mengandung perintah kepada orang yang tidak memiliki ilmu agama agar bertanya dan mengikuti pendapat orang yang pandai diantara mereka. Secara tekstual, ayat diatas berisi perintah bertanya kepada orang yang pintar. Tidak ada informasi perintah taklid, sehingga tidak bisa di jadikan dalil kewajiban taklid. Namun pemahaman demikian kurang tepat, sebab bila diperhatikan lebih teliti, perintah diatas termasuk perintah mutlak dan umum.Tidak ditemukan kekhususan perintah bertanya tentang dalil atau yang lainnya. Sehingga ayat tersebut bias menjadi dalil kewajiban taklid.
Surat An Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Ertinya: ’’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu (An Nisa 59)
’’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan ‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain disebut taqlid.
Surat As sajadah ayat 24
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pamimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar, dan mereka meyakini ayat-ayat kami” (Qs. As-sajadah :24)
Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang para imam yang memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk mengikuti petunjuk yang mereka berikan.
Hadis riwayat Tirmizi dll
اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ " أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ
وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ
وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ
“Ikutilah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R. Tirmizi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dalam hadis ini jelas kita disuruh kita mengikuti dua Ulama yang juga shahabat Nabi yaitu Abu bakar dan Umar Rda. Ini adalah perintah untuk Taqlid.
Hadis riwayat Baihaqi
أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم اهتديتم (رواه البيهقي
“Sahabatku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat” (Riwayat Imam Baihaqi).
Ini juga dalil yang meyuruh kita (yang bukan mujtahid ) untuk mengikuti sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka itulah yang di katakan TAQLID.
Semua hadits diatas menggambarkan bahwa para sahabat dan ulama-ulama setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat manusia, sehingga Rasulullah menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’ dalam memberi petunjuk kepada ummat. Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah mengikuti Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya (ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga dinamakan mengikuti Rasulullah.
Masih adakah mujtahid pada masa ini?
Secara akal memang tidak tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245 M), Imam Fakhr Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya dengan tegas menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M) tidak diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid mutlak.
Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada mujtahid”.[12] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]
Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada mujtahid”.[12] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]
Syeikh Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan ijtihad pada masa ini oleh sebagian orang yang telah alim hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu dipedulikan. Perkataan beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan para ulama terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M - 973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H - 974 H), Imam Al Manawy (925 H - 131 H) dll.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah beberapa ulama membawakan beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau telah sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid fatwa maka hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa pendapat tersebut. Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau beralasan bahwa disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa adalah tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat sulit untuk dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.
Imam Haramain(399 H - 460 H), dan Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang diakui pada zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh padahal ilmu beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup mengdektekannya dari dadaku’’.
Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini ‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.
Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini ‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.
Dapat disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai. Para imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi, Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak berijtihad sendiri.[14]
Adapun orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim (1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 - 1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang setingkat dengan Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama lainnya yang masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka, tak ada yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah Muhazzab karangan Imam Nawawy.
WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.
SUMBER: LPI MUDI MESRA, Samalanga, Bireun, Aceh.
0 ulasan:
Catat Ulasan